ARTIKEL KEWARGANEGARAAN
Peran Mahasiswa sebagai Warga Negara dalam Pencegahan Stunting
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang masih menjadi tantangan serius bagi pembangunan manusia di Indonesia. Meskipun angka prevalensinya menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, Indonesia masih berada di atas ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20%. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka stunting di Indonesia mencapai 21,6%, atau setara dengan lima juta anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan.
Stunting tidak hanya berdampak pada tinggi badan anak, melainkan juga berpengaruh jangka panjang terhadap perkembangan kognitif, produktivitas di masa dewasa, serta peningkatan risiko penyakit tidak menular. Penanganan masalah ini membutuhkan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah, sektor swasta, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Di tengah upaya ini, mahasiswa sebagai kelompok terdidik dan calon pemimpin masa depan memiliki posisi strategis untuk ikut berkontribusi dalam pencegahan stunting.
A. Mengapa Mahasiswa Penting dalam Upaya Pencegahan Stunting?
Mahasiswa bukan hanya individu yang tengah menempuh pendidikan tinggi, tetapi juga bagian dari masyarakat sipil yang punya peran aktif dalam pembangunan sosial. Sebagai agen perubahan, mereka dapat terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan, mulai dari edukasi, pengabdian masyarakat, hingga riset dan advokasi kebijakan publik.
Studi dari Dwipa Handayani et al. (2024) dan Fikri Faidul Jihad et al. (2024) menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam pencegahan stunting dapat menciptakan intervensi yang berkelanjutan dan berdaya guna. Kegiatan-kegiatan ini juga sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama dalam hal pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.
B. Studi Kasus: Survei Mahasiswa Universitas Andalas
Untuk melihat sejauh mana kesadaran dan kontribusi mahasiswa terhadap isu ini, dilakukan survei terhadap 50 mahasiswa Universitas Andalas dari berbagai fakultas. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan survei dan menggunakan kuesioner online sebagai instrumen utama.
1. Profil Responden
Mayoritas responden berasal dari fakultas kesehatan (35%), diikuti oleh fakultas sosial-humaniora (30%) dan sains-teknik (35%). Sebanyak 60% responden adalah perempuan dan 55% tercatat aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
2. Tingkat Pemahaman Mahasiswa
Hasil survei menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai stunting. Sekitar 90% responden mampu mendefinisikan stunting dengan tepat sebagai kondisi kekurangan gizi kronis. Selain itu, 80% mengetahui periode emas pencegahan stunting adalah 1000 hari pertama kehidupan, dan 75% memahami dampak jangka panjangnya.
Namun, hanya 65% responden yang dapat mengidentifikasi penyebab stunting secara menyeluruh, termasuk faktor gizi, infeksi, pola asuh, dan sanitasi. Temuan ini menunjukkan masih adanya kesenjangan pemahaman, terutama di kalangan mahasiswa non-kesehatan.
3. Sikap dan Persepsi
Sebagian besar mahasiswa menyadari urgensi masalah stunting. Rata-rata skor pernyataan "Stunting adalah masalah serius" mencapai 4,6 dari 5. Begitu pula dengan pandangan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam pencegahan stunting, yang memperoleh skor 4,2.
Namun, terdapat persepsi kritis terhadap efektivitas program pencegahan yang ada saat ini. Hanya 2,8 dari 5 responden yang menilai program pemerintah sudah memadai, dan 70% menyatakan belum ada program konkret di kampus yang benar-benar menampung aspirasi dan kontribusi mahasiswa.
4. Bentuk Kontribusi dan Hambatan
Sekitar 60% mahasiswa pernah terlibat dalam kegiatan edukasi atau advokasi stunting, baik melalui seminar, webinar, maupun kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bentuk kontribusi yang paling banyak diusulkan adalah:
-
Edukasi masyarakat melalui media sosial (45%)
-
Aksi langsung seperti posyandu dan penyuluhan (30%)
-
Riset atau advokasi kebijakan lokal (25%)
Namun, keinginan ini tidak selalu diimbangi oleh kemudahan akses atau dukungan. Hambatan utama yang dirasakan mahasiswa antara lain:
-
Kurangnya waktu luang akibat beban akademik (40%)
-
Minimnya dukungan atau wadah dari institusi (35%)
-
Anggapan bahwa isu stunting tidak relevan dengan jurusan mereka (25%)
5. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Mahasiswa
Dari analisis statistik menggunakan uji chi-square dan regresi, diketahui bahwa mahasiswa dari fakultas kesehatan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk memahami dan terlibat dalam isu stunting. Selain itu, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung memiliki kesadaran dan pengetahuan yang lebih baik.
Pengalaman mengikuti seminar, pelatihan, atau kegiatan lapangan juga berkontribusi positif terhadap partisipasi mereka dalam pencegahan stunting.
C. Apa yang Bisa Dilakukan Mahasiswa?
Berdasarkan hasil survei, ada beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk turut serta dalam upaya pencegahan stunting:
-
Menginisiasi dan terlibat dalam program edukasi berbasis komunitasMahasiswa bisa menjadi narasumber atau fasilitator dalam kegiatan edukatif, terutama di daerah-daerah yang masih tinggi angka stuntingnya. Ini bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan Puskesmas, posyandu, atau karang taruna.
-
Mengembangkan konten edukatif di media sosialDengan dominasi penggunaan media sosial di kalangan muda, mahasiswa dapat memanfaatkan platform ini untuk menyebarluaskan informasi yang benar tentang gizi, sanitasi, dan pentingnya 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan).
-
Berkolaborasi lintas disiplinMahasiswa dari berbagai latar belakang ilmu dapat bekerja sama untuk merancang solusi inovatif. Misalnya, mahasiswa teknik bisa membuat alat monitoring gizi sederhana, mahasiswa IT bisa membuat aplikasi edukasi, dan mahasiswa hukum bisa mendorong regulasi lokal.
-
Melakukan riset dan publikasi ilmiahMahasiswa dapat menyusun laporan atau artikel ilmiah yang mengangkat isu stunting di wilayahnya dan menyampaikan rekomendasi berbasis data kepada pemangku kepentingan.
-
Mendorong kampus untuk memfasilitasi program pencegahan stuntingMahasiswa juga dapat menyuarakan pentingnya integrasi isu stunting ke dalam kurikulum, kegiatan KKN, dan program pengabdian masyarakat lainnya.
D. Rekomendasi
Dari temuan penelitian ini, ada beberapa saran untuk meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam isu stunting:
-
Bagi pihak kampus, perlu adanya kurikulum dan program penguatan lintas fakultas yang secara eksplisit membahas stunting. Kampus juga dapat menyediakan program tematik seperti KKN Stunting atau Lomba Inovasi Mahasiswa Peduli Gizi.
-
Bagi mahasiswa, penting untuk membangun kesadaran lintas disiplin bahwa stunting bukan hanya urusan kesehatan, tetapi juga menyangkut pendidikan, ekonomi, teknologi, dan budaya.
-
Bagi pemerintah daerah, keterlibatan mahasiswa dapat menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menumbuhkan partisipasi generasi muda dalam pembangunan. Pemerintah bisa menggandeng kampus dalam program berbasis komunitas yang melibatkan mahasiswa secara aktif.
E. Penutup
Stunting bukan hanya tantangan bagi sektor kesehatan, tetapi juga menyangkut kualitas generasi masa depan. Di sinilah peran mahasiswa menjadi relevan dan sangat dibutuhkan. Sebagai warga negara dan bagian dari komunitas akademik, mahasiswa memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan aksi nyata di lapangan.
Keterlibatan aktif mahasiswa dalam isu stunting tidak hanya memperkuat upaya nasional dalam menurunkan prevalensi, tetapi juga menumbuhkan kepedulian sosial dan rasa tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Sudah saatnya peran mahasiswa tidak hanya berhenti di ruang kelas, tetapi juga hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan.
Komentar
Posting Komentar